Langsung ke konten utama

CIKUNDUL (CIANJUR) - Ziarah Makam Dalem Aria Wiratanudatar


pembahasan kali ini mengenai ziarah ke makam Dalem Aria Wiratanudatar cikundul Cianjur, yaa!!! Cikundul apa arti sebutan kata tersebut? cikundul adalah salah satu tempat Ziarah yang kebilang Populer di kalangan masyarakat muslim di daerah cianjur. lokasinya terletak di Kampung Majalaya, Desa Cijagang, Kecamatan Cikalongkulon, Cianjur (Jawa Barat). kebanyakan masyarakat muslim datang ke cikundul untuk melakukan Ziarah kubur Ke makam dalem cikundul. dari pusat kota Cianjur tidak terlalu jauh namun jika diperkirakan kurang lebih sekitar 17 km jaraknya. mengapa ziarah ke cikundul? alasannya ialah untuk mengingat tempat dimana dimakamkannya Bupati Cianjur Pertama, yaitu Raden Aria WiraTanu Bin Aria Wangsa Goparana (1677 - 1691) yang kemudian terkenal dengan nama Dalem Cikundul. Kalau tidak salah Pada Tahun 1985 Makam Dalem Cikundul pernah diperbaiki oleh Ny Hajjah Yuyun Muslim Taher istrinya Prof Dr Muslim Taher (Aim) Rektor Universitas Jayabaya, Jakarta (Ny Hajjah Yuyun Muslim Taher) Masih tergolong salahsatu keturunan dari Dalem cikundul. untuk mengenal dan mengetahui lebih jauh sisilah Keturunannya lanjutkan membaca sampe selesai.

ziarah makam aria wiratanu cikindul
sumber gambar: wikipedia

Begini awal Ceritanya


Pada tahun 1529 kerajaan Talaga direbut oleh Cirebon dari Negara Pajajaran dalam rangka penyebaran agama Islam, yang sejak itu sebagian besar rakyatnya memeluk agama Islam. Tetapi raja-raja Talaga, yaitu :
  • Prabu Siliwangi, Mundingsari,
  • Mundingsari Leutik,
  • Pucuk Umum,
  • Sunan Parung Gangsa,
  • Sunan Wanapri, dan
  • Sunan Ciburang,
Masih menganut agama lama(Hindu)

Legenda Makam Dalem Cikundul

Terus Sunan Ciburang memiliki putra bernama Aria Wangsa Goparana, dan ia merupakan orang pertama yang memeluk agama Islam, namun tidak direstui oleh orang tuanya. Akhirnya Aria Wangsa Goparana meninggalkan keraton Talaga, dan pergi menuju Sagalaherang. 

makam dalem aria wiratanudatar

1747-58601c385c7b61e55404748f.jpg
Di Sagalaherang, mendirikan Negara dan pondok pesantren untuk menyebarkan agama Islam ke daerah sekitarnya. Pada akhir abad 17, ia meninggal dunia di Kampung Nangkabeurit, Sagalaherang dengan meninggalkan dua orang putra-putri, yaitu: Djayasasana, Candramanggala, Santaan Kumbang, Yudanagara, Nawing Candradirana, Santaan Yudanagara, dan Nyai Mas Murti. 

Aria Wangsa Goparana, menurunkan para Bupati Cianjur yang bergelar Wira Tanu dan Wiratanu Datar serta para keturunannya. putra sulungnya Djayasasana dikenal sangat taqwa terhadap Allah SWT, Tekun mempelajari agama Islam dan rajin bertapa. Setelah dewasa Djayasasana meninggalkan Sagalaherang, diikuti sejumlah rakyatnya. Kemudian bermukim di Kampung Cijagang, Cikalongkulon, Cianjur, bersama pengikutnya dengan bermukim di sepanjang pinggir-pingir sungai. 


Djayasasana yang bergelar Aria Wira Tanu, menjadi Bupati Cianjur atau Bupati Cianjur Pertama (1677 ­1691), meninggal dunia antara tahun 1681 -1706 meninggalkan putra-puteri sebanyak 10 orang, masing-masing :
  • Dalem Anom (Aria Natamanggala),
  • Dalem Aria Martayuda (Dalem Sarampad), 
  • Dalem Aria Tirta (Di Karawang), 
  • Dalem Aria Wiramanggala (Dalem Tarikolot), 
  • Dalem Aria Suradiwangsa (Dalem Panembong), 
  • Nyai Mas Kaluntar, 
  • Nyai Mas Karangan, 
  • Nyai Mas Djenggot,
  • Dan Nyai Mas Bogem.
Dia juga memiliki seorang istri dari bangsa jin Islam, dan memiliki tiga orang putra-putri, yaitu Raden Eyang Suryakancana, yang hingga sekarang dipercayai bersemayam di Gunung Gede atau hidup di alam jin. Putri kedua, Nyi Mas Endang Kancana alias Endang Sukaesih alias Nyai Mas Kara, bersemayam di Gunung Ceremai, dan Andaka Warusajagad (tetapi ada juga yang menyebutkan bukan putra, tetapi putri bernama Nyai Mas Endang Radja Mantri bersemayam di Karawang)

Dari situlah, Dalem Cikundul sebagai leluhur sebagian masyarakat Cianjur, yang tidak terlepas dari berdirinya pedaleman (kabupaten) Cianjur. Makanya Makam Dalem Cikundul dijadikan tempat ziarah yang kemudian oleh Pemda Cianjur dikukuhkan sebagai obyek wisata ziarah, sehingga banyak dikunjungi penziarah dari berbagai daerah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BOGOR - Tugu Pancasila di Kebun Raya Bogor

Di Kebun Raya Bogor ternyata ada sebuah bangunan seperti saung dan tugu setinggi satu setengah meter.  Bangunan itu selama ini disebut sebagai petilasan Soekarno, Presiden pertama Indonesia.  Tak banyak pengunjung Kebun Raya Bogor yang mengetahui ada petilasan Bung Karno.  Beberapa pengunjung pun terlihat aneh saat melihat ada sebuah tugu yang berukuran tidak besar. Karena letaknya yang berada di atas jalan aspal  yang jarang di lintasi oleh pengunjung, sehingga banyak  yang tidak mengetahui ada petilasan ini. Disekeliling bangunan terdapat pohon tinggi dan berukuran besar. Tiang bangunan dicat warna merah putih. Sedangkan tugu dicat warna merah. Selain itu ada baki dari anyaman rotan berisi jeruk nipis, timun dan kemenyam. TribunnewsBogor.com/Lingga Arvian Sepertinya petilasan ini sering digunakan untuk tempat sebagian orang untuk meminta wangsit. Suasana di lokasi petilasan cukup sepi dan hawanya dingin. Aura mistis sangat terasa saat berada di lokasi petilasan Bung Ka

BOGOR - Makam Keramat Kebun Raya Bogor

Mengungkap Sosok Makam-Makam Keramat di Kebun Raya Bogor   Eddy Flo   |  Mar 04 2016, 06:05 Komplek Makam Keramat di Kawasan Kebun Raya Bogor menjadi penanda jejak Ratu Galuh Pakuan (Foto: MP/Noer Ardiansyah) 34 shares     Share     MerahPutih Budaya  - Berdasarkan cerita yang terus berkembang, sosok Ratu Galuh Pakuan yang makamnya berada di Kebun Raya Bogor merupakan istri kedua dari Sribaduga Maharaja Prabu Siliwangi, raja dari Kerajaan Pajajaran. Hal demikian, ternyata mendapat penolakan keras oleh Ketua Sandi Nusantara yang merupakan keturunan Prabu Siliwangi. "Ratu Galuh merupakan istri kedua Prabu Siliwangi adalah sangat salah!" tegas Fachruddin Soleh selaku Ketua Sandi Nusantara saat  merahputih.com  hubungi via telepon, Kamis (3/3). Makam Ratu Galuh Pakuan di kawasan Kebun Raya Bogor selalu ramai dikunjungi para peziarah (Foto: MP/Noer Ardiansyah) Adapun maksud dari Ratu Galuh yang berada di Kebun Raya Bogor itu, jelas Fachruddin Soleh,

PANDEGLANG (BANTEN) - Batu Qur'an

RIWAYAT SYEKH MAULANA MANSYURUDIN (Batu Qur'an-Pandeglang) Syekh Maulana Mansyuruddin dikenal dengan nama Sultan Haji, beliau adalah putra Sultan Agung Abdul Fatah Tirtayasa (raja Banten ke-6). Sekitar tahun 1651 M, Sultan Agung Abdul Fatah berhenti dari kesultanan Banten, dan pemerintahan diserahkan kepada putranya yaitu Sultan Maulana Mansyurudin dan beliau diangkat menjadi Sultan ke-7 Banten, kira-kira selama 2 tahun menjabat menjadi Sultan Banten kemudian berangkat ke Baghdad Iraq untuk mendirikan negara Banten di tanah Iraq, sehingga kesultanan untuk sementara diserahkan kepada putranya Pangeran Adipati Ishaq atau Sultan Abdul Fadhli. Pada saat berangkat ke Bagdad Iraq, Sultan Maulana Mansyuruddin diberi wasiat oleh Ayahnya. "Apabila engkau mau berangkat mendirikan negara di Baghdad janganlah menggunakan/ memakai seragam kerajaan nanti engkau akan mendapat malu, dan kalau mau berangkat ke Baghdad untuk tidak mampir kemana-mana harus langsung ke Ba

CIANJUR - Situs Gunung Padang

Situs Gunung Padang Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Situs Gunung Padang Teras kelima dari situs Gunung Padang Situs Gunung Padang  merupakan situs  prasejarah  peninggalan kebudayaan  Megalitikum  di  Jawa Barat . Tepatnya berada di perbatasan Dusun Gunungpadang dan Panggulan, Desa  Karyamukti , Kecamatan  Campaka ,  Kabupaten Cianjur . Lokasi dapat dicapai 20 kilometer dari persimpangan kota kecamatan  Warungkondang , dijalan antara Kota Kabupaten Cianjur dan Sukabumi. Luas kompleks utamanya kurang lebih 900 m², terletak pada ketinggian 885 m  dpl , dan areal situs ini sekitar 3  ha , menjadikannya sebagai kompleks  punden berundak  terbesar di  Asia Tenggara . Daftar isi    [ sembunyikan ]  1 Penemuan 2 Lokasi 3 Fungsi 4 Penelitian 4.1 Survei Pemerintah Indonesia 4.2 Hasil Laboratorium Beta Analytic Miami 4.3 Penelitian Lebih Lanjut 5 Kontroversi 6 Penelitian Lanjutan 6.1 Semen purba 6.2 Perkembangan penelitian situ